Cari Blog Ini

Sabtu, 26 Mei 2012

Intra Uterine Growth Retardation (IUGR)

A.      Definisi
Definisi menurut WHO (1969), janin yang mengalami pertumbuhan yang terhambat (IUGR) adalah janin yang mengalami kegagalan dalam mencapai berat standard atau ukuran standard yang sesuai dengan usia kehamilannya. Pertumbuhan Janin Terhambat atau Intra Uterine Growth Restriction adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan nutrisi dan pertumbuhan janin yang mengakibatkan berat badan lahir dibawah batasan tertentu dari usia kehamilannya.
Definisi yang sering dipakai adalah bayi-bayi yang mempunyai berat badan dibawah 10 persentil dari kurva berat badan bayi yang normal). Dalam 5 tahun terakhir, istilah Retardation pada Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) telah berubah menjadi Restriction oleh karena Retardasi lebih ditekankan untuk mental. Menurut Gordon, JO (2005) pertumbuhan janin terhambat-PJT (Intrauterine growth restriction) diartikan sebagai suatu kondisi dimana janin berukuran lebih kecil dari standar ukuran biometri normal pada usia kehamilan.
Kadang pula istilah PJT sering diartikan sebagai kecil untuk masa kehamilan-KMK (small for gestational age). Umumnya janin dengan PJT memiliki taksiran berat dibawah persentil ke-10. Artinya janin memiliki berat kurang dari 90 % dari keseluruhan janin dalam usia kehamilan yang sama. Janin dengan PJT pada umumnya akan lahir prematur (<37 minggu) atau dapat pula lahir cukup bulan (aterm, >37 minggu). Ada dua bentuk PJT menurut Renfield (1975) yaitu:
1.  Proportionate Fetal Growth Restriction: Janin yang menderita distress yang lama di mana gangguan pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi lahir sehingga berat, panjang dan lingkar kepala dalam proporsi yang seimbang akan tetapi keseluruhannya masih di bawah gestasi yang sebenarnya.
2. Disproportionate Fetal Growth Restriction: Terjadi akibat distress subakut. Gangguan terjadi beberapa minggu sampai beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini panjang dan lingkar kepala normal akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa gestasi. Bayi tampak waste dengan tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.
Pada bayi PJT perubahan tidak hanya terhadap ukuran panjang, berat dan lingkaran kepala akan tetapi organ-organ di dalam badan pun mengalami perubahan misalnya Drillen (1975) menemukan berat otak, jantung, paru dan ginjal bertambah sedangkan berat hati, limpa, kelenjar adrenal dan thimus berkurang dibandingkan bayi prematur dengan berat yang sama. Perkembangan dari otak, ginjal dan paru sesuai dengan masa gestasinya.
Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT akan mengalami keadaan berikut :
a.       Penurunan level oksigenasi
b.    Nilai APGAR rendah (suatu penilaian untuk menolong identifikasi adaptasi bayi segera setelah lahir)
c.  Aspirasi mekonium (tertelannya faeces/tinja bayi pertama di dalam kandungan) yang dapat berakibat sindrom gawat nafas
d.      Hipoglikemi (kadar gula rendah)
e.       Kesulitan mempertahankan suhu tubuh janin
f.       Polisitemia (kebanyakan sel darah merah)
(Cunningham, 2006)
Pada masa kehamilan janin mengalami pertumbuhan tiga tahap di dalam kandungan, yaitu:
a.    Hiperplasia, yaitu pada 4-20 minggu kehamilan terjadi mitosis yang sangat cepat dan peningkatan jumlah DNA.
b.      Hiperplasia dan hipertrofi, yaitu pada 20-28 minggu aktifitas mitosis menurun, tetapi peningkatan ukuran sel bertambah.
c.       Hipertrofi, yaitu pada 28-40 minggu pertumbuhan sel menjadi maksimal terutama pada minggu ke 33, penambahan jumlah lemak, otot dan jaringan ikat tubuh.
(Cunningham, 2006)
Perkembangan PJT Intrauterin
Peningkatan rasio berat plasenta terhadap berat lahir ditimbulkan oleh kondisi diet rendah nutrisi terutama protein:
1.   Kondisi kekurangan nutrisi pada awal kehamilan Pada kondisi awal kehamilan pertumbuhan embrio dan trofoblas dipengaruhi oleh makanan. Studi pada binatang menunjukkan bahwa kondisi kekurangan nutrisi sebelum implantasi bisa menghambat pertumbuhan dan perkembangan. Kekurangan nutrisi pada awal kehamilan dapat mengakibatkan janin berat lahir rendah yang simetris. Hal sebaiknya terjadi kondisi percepatan pertumbuhan pada kondisi hiperglikemia pada kehamilan lanjut.
2.  Kondisi kekurangan nutrisi pada pertengahan kehamilan Defisiensi makanan mempengaruhi pertumbuhan janin dan plasenta, tapi bisa juga terjadi peningkatan pertumbuhan plasenta sebagai kompensasi. Didapati ukuran plasenta yang luas.
3.    Kondisi kekurangan nutrisi pada akhir kehamilan Terjadi pertumbuhan janin yang lambat yang mempengaruhi interaksi antara janin dengan plasenta. Efek kekurangan makan tergantung pada lamanya kekurangan. Pada kondisi akut terjadi perlambatan pertumbuhan dan kembali meningkat jika nutrisi yang diberikan membaik. Pada kondisi kronis mungkin telah terjadi proses perlambatan.(Cunningham, 2006)
Ada 3 jenis PJT, yaitu:
1.         PJT tipe I atau dikenal juga sebagai tipe simetris.
Terjadi pada kehamilan 0-20 minggu, terjadi gangguan potensi tubuh janin untuk memperbanyak sel (hiperplasia), umumnya disebabkan oleh kelainan kromosom atau infeksi janin. Prognosisnya buruk.
2.         PJT tipe II atau dikenal juga sebagai tipe asimetris.
Terjadi pada kehamilan 28-40 minggu, yaitu gangguan potensi tubuh janin untuk memperbesar sel (hipertrofi), misalnya pada hipertensi dalam kehamilan disertai insufisiensi plasenta. Prognosisnya baik.
3.         PJT tipe III adalah kelainan di antara kedua tipe di atas.
Terjadi pada kehamilan 20-28 minggu, yaitu gangguan potensi tubuh kombinasi antara gangguan hiperplasia dan hipertrofi sel, misalnya dapat terjadi pada malnutrisi ibu, kecanduan obat, atau keracunan. (Cunningham, 2006)
B.       Patofisiologi
Bayi-bayi yang dilahirkan dengan PJT biasanya tampak kurus, pucat, dan berkulit keriput. Tali pusat umumnya tampak rapuh dam layu dibanding pada bayi normal yang tampak tebal dan kuat. PJT muncul sebagai akibat dari berhentinya pertumbuhan jaringan atau sel. Hal ini terjadi saat janin tidak mendapatkan nutrisi dan oksigenasi yang cukup untuk perkembangan dan pertumbuhan organ dan jaringan, atau karena infeksi. Meski pada sejumlah janin, ukuran kecil untuk masa kehamilan bisa diakibatkan karena faktor genetik (kedua orangtua kecil), kebanyakan kasus PJT atau Kecil Masa Kehamilan (KMK) dikarenakan karena faktor-faktor lain. (Cunningham, 2006)
C.      Etiologi
1.   Faktor ibu
a.         Penyakit hipertensi (kelainan vaskular ibu).
Pada trimester kedua terdapat kelanjutan migrasi interstitial dan endotelium trophoblas masuk jauh ke dalam arterioli miometrium sehingga aliran menjadi tanpa hambatan menuju retroplasenter sirkulasi dengan tetap. Aliran darah yang terjamin sangat penting artinya untuk tumbuh kembang janin dengan baik dalam uterus.
Dikemukakan bahwa jumlah arteri-arterioli yang didestruksi oleh sel trophoblas sekitar 100-150 pada daerah seluas plasenta sehingga cukup untuk menjamin aliran darah tanpa gangguan pada lumen dan arteri spiralis terbuka.
Gangguan terhadap jalannya destruksi sel trophoblas ke dalam arteri spiralis dan arteriolinya dapat menimbulkan keadaan yang bersumber dari gangguan aliran darah dalam bentuk “iskemia retroplasenter”.
Dengan demikian dapat terjadi bentuk hipertensi dalam kehamilan apabila gangguan iskemianya besar dan gangguan tumbuh kembang janin terjadi apabila iskemia tidak terlalu besar, tetapi aliran darah dengan nutrisinya merupakan masalah pokok.
b.         Kelainan uterus.
Janin yang tumbuh di luar uterus biasanya mengalami hambatan pertumbuhan
c.         Kehamilan kembar.
Kehamilan dengan dua janin atau lebih kemungkinan besar dipersulit oleh pertumbuhan kurang pada salah satu atau kedua janin dibanding dengan janin tunggal normal. Hambatan pertumbuhan dilaporkan terjadi pada 10 s/d 50 persen bayi kembar.
d.        Ketinggian tempat tinggal
Jika terpajan pada lingkungan yang hipoksik secara kronis, beberapa janin mengalami penurunan berat badan yang signifikan Janin dari wanita yang tinggal di dataran tinggi biasanya mempunyai berat badan lebih rendah daripada mereka yang dilahirkan oleh ibu yang tinggal di dataran rendah.
e.         Keadaan gizi
Wanita kurus cenderung melahirkan bayi kecil, sebaliknya wanita gemuk cenderung melahirkan bayi besar. Agar nasib bayi baru lahir menjadi baik, ibu yang kurus memerlukan kenaikan berat badan yang lebih banyak dari pada ibu-ibu yang gemuk dalam masa kehamilan.
Faktor terpenting pemasukan makanan adalah lebih utama pada jumlah kalori yang dikonsumsi setiap hari dari pada komposisi dari kalori. Dalam masa hamil wanita keadaan gizinya baik perlu mengkonsumsi 300 kalori lebih banyak dari pada sebelum hamil setiap hari. Penambahan berat badan yang kurang di dalam masa hamil menyebabkan kelahiran bayi dengan berat badan yang rendah.
f.          Perokok
Kebiasaan merokok terlebih dalam masa kehamilan akan melahirkan bayi yang lebih kecil sebesar 200 sampai 300 gram pada waktu lahir. Kekurangan berat badan lahir ini disebabkan oleh dua faktor yaitu :
·      Wanita perokok, cenderung makan sedikit karena itu ibu akan kekurangan substrat di dalam darahnya yang bisa dipergunakan oleh janin.
· Merokok menyebabkan pelepasan epinefrin dan norepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi yang berkepanjangan sehingga terjadi pengurangan jumlah pengaliran darah kedalam uterus dan yang sampai ke dalam ruang intervillus.
2.   Faktor anak
a.    Kelainan kongenital.
b.    Kelainan genetik
c.    Infeksi janin, misalnya penyakit TORCH (toksoplasma, rubela, sitomegalovirus, dan herpes).
Infeksi intrauterine adalah penyebab lain dari hambatan pertumbuhan intrauterine.banyaktipe seperti pada infeksi oleh TORCH (toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dan herpes simplex) yang bisa menyebabkan hambatan pertumbuhan intrauterin sampai 30% dari kejadian. Infeksi AIDS pada ibu hamil menurut laporan bisa mengurangi berat badan lahir bayi sampai 500 gram dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir sebelum terkena infeksi itu.
Diperkirakan infeksi intrauterin meninggikan kecepatan metabolisme pada janin tanpa kompensasi peningkatan transportasi substrat oleh plasenta sehingga pertumbuhan janin menjadi subnormal atau dismatur.
3.    Faktor plasenta
Penyebab faktor plasenta dikenal sebagai insufisiensi plasenta. Faktor plasenta dapat dikembalikan pada faktor ibu, walaupun begitu ada beberapa kelainan plasenta yang khas seperti tumor plasenta. Sindroma insufisiensi fungsi plasenta umumnya berkaitan erat dengan aspek morfologi dari plasenta.
Parameter klinik yang dapat digunakan untuk mendeteksi PJT ketidaksesuaian usia gestasi dengan besar uterus, laju pertumbuhan terhambat, atau pertambahan berat badan ibu yang kurang. Kejadian yang terbukti dengan cara ini hanya 10-25%, sehingga perlu digabung dengan pemeriksaan dan USG Doppler.
·           Manajemen pada kasus preterm dengan pertumbuhan janin terhambat lakukan pematangan paru dan asupan nutrisi tinggi kalori mudah cerna, dan banyak istirahat.
·           Pada kehamilan 35 minggu tanpa terlihat pertumbuhan janin dapat dilakukan pengakhiran kehamilan.
·           Jika terdapat oligohidramnion berat disarankan untuk per abdominam.
·           Pada kehamilan aterm tergantung kondisi janin jika memungkinkan dapat dicoba lahir pervaginam (Cunningham, 2006)

D.      Faktor-faktor risiko PJT (IUGR)
1.                Lingkungan sosio-ekonomi rendah.
2.                Riwayat PJT dalam keluarga.
3.                Riwayat obstetri yang buruk
4.                Berat badan sebelum hamil dan selama kehamilan yang rendah.
5.                Komplikasi obstetri dalam kehamilan.
6.                Komplikasi medik dalam kehamilan.
Faktor-faktor risiko PJT (IUGR) sebelum dan selama kehamilan
I.    Faktor yang terdeteksi sebelum kehamilan:
a.    Riwayat PJT sebelumnya
b.     Riwayat penyakit kronis
c.    Riwayat APS (Antiphospolipid syndrome)
d.   Indeks Massa tubuh yang rendah
e.    Maternal hypoxia
II.  Terdeteksi selama kehamilan.
a.    Riwayat makan obat-obatan tertentu
b.    Perdarahan pervaginam
c.    Kelainan plasenta
d.   Partus prematurus
e.    Kehamilan ganda
f.     Kurangnya pertambahan BB selama kehamilan (Cunningham, 2006)

E.       Tanda dan gejala
Sedikitnya jaringan lemak di bawah kulit, kulit kering keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang.dan gejalanya terjadi saat janin tidak mendapatkan nutrisi dan oksigen yang cukup untuk perkembangan dan pertumbuhan organ dan jaringan atau karena infeksi. (Cunningham, 2006)
Diagnosa  potensial
Infeksi TORCH yang bisa menyebabkan hambatan pertumbuhan intrauterin sampai 30% dari kejadian. Infeksi AIDS pada ibu hamil menurut laporan bisa mengurangi berat badan lahir bayi sampai 500 gram dibandingkan dengan bayi-bayi yang lahir sebelum terkena infeksi itu.(Cunningham, 2006)

F.       Pencegahan
1.    Cuci tangan dengan bersih dengan sabun dan air untuk menghindari infeksi
2.    Berikan asupan nutrisi yang cukup pada bayi

G.      Penatalaksanaan
Janin yang mengalami pertumbuhan yang terhambat (IUGR) adalah janin yang mengalami kegagalan dalam mencapai berat standar, Setelah ditetapkan tidak ada kelainan,perlu di pertimbangkan bila janin akan dilahirkan.bagi situasi di indonesia,saat yang tepat ialah bergantung pada arus darah arteri umbilikal dan usia gestasi.arteri umbilikal yang tidak memiliki arus diastolik bahkan adanya arus terbalik akan mempunyai proknosis buruk berupa kematian janin dalam < 1 minggu.usia optimal untuk melahirkan bayi 33-34 minggu dengan pertimbgan suda di lakukan pematangan paru.pemeriksaan kardiotokografi akan membantu diagnosis adanya hipoksia janin berupa deselerasi lambat denyut jantung.penggunaan stimulasi akustik penting meningkatkan sentivitas.Skor maksimum ialah 10 di anggap janin masih baik.dengan demikian,bila hasil penilaian ditemukan < 6,maka dapat di curigai adanya sidosis(sensitivits 80 %,spesifisitas 89%),sehingga sebaiknya di pilih melahirkan dengan seksio sesarea,sebaiknya bila ditemukan nilai yang lebih kurang 6 maka perlu di pertimbangkan melahirkan bayi dengan induksi.akibat oligohidramnion,mungkin terjadi kompresi tali pusat atau sudah terjadi insufisiensi plasenta(deselerasi lambat)sehingga dapat membahayakan janin yang mengalami asidosis.dalam hal itu sebaiknya dipertimbangkan seksio sesarea.pemeriksaan gas darah tali pusat sangan di anjurkan untuk membantu manajeman pascakelahiran,pengobatan dengan kalsium bloker,betamimetik ,dan hormon ternyata tidak mempunyai dasar dan bukti yang bermakna. (Mochtar, 1998)


Sabtu, 12 Mei 2012

Intra Uterine Fetal Death (IUFD)

 

A. Pengertian
IUFD adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan baik pada kehamilan yang besar dari 20 minggu atau kurang dari 20 minggu (Rustam Muchtar, 1998).
IUFD adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan (Sarwono, 2005).
Menurut WHO dan The American College of Obstetricians and Gynecologists yang disebut kematian janin adalah janin yang mati dalam rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih atau kematian janin dalam rahim pada kehamilan 20 minggu atau lebih. Kematian janin merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi (Sarwono, 2008).
IUFD atau Stilbirth adalah kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan mati yang telah mencapai umur kehamilan 28 minggu (atau berat badan lahir lebih atau sama dengan 1000 gram) (g-excess, 2011).
IUFD adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan. Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK) atau Intra Uterine Fetal Deadth (IUFD), sering dijumpai baik pada kehamilan dibawah 20 minggu maupun sesudah kehamilan 20 minggu (Antonius Widoyoko, 2011).
Sebelum 20 minggu
Kematian janin dapat terjadi dan biasanya berakhir dengan abortus. Bila hasil konsepasi yang sudah mati tidak dikeluarkan dan tetap tinggal dalam rahim disebut missed abortion (Antonius Widoyoko, 2011)


Sesudah 20 minggu
Biasanya ibu telah merasakan gerakan janin sejak kehamilan 20 minggu dan seterusnya. Apabila wanita tidak merasakan gerakan janin dapat disangka terjadi kematian dalam rahim (Antonius Widoyoko, 2011).
B. Patofisiologi
Janin juga bisa mati di dalam kandungan (IUFD) karena beberapa faktor antara lain gangguan gizi dan anemia dalam kehamilan, hal tarsebut menjadi berbahaya karena suplai makanan yang dikonsumsi ibu tidak mencukupi kebutuhan janin. Sehingga pertumbuhan janin terhambat dan dapat mengakibatkan kematian. Begitu pula dengan anemia, karena anemia adalah kejadian kekurangan FE maka jika ibu kekurangan FE dampak pada janin adalah irefersibel. Kerja organ-organ maupun aliran darah janin tidak seimbang dengan pertumbuhan janin (IUGR) (Antonius Widoyoko, 2011).
C. Diagnosis
1. Anamnesis
- Ibu tidak merasakan gerakan janin
- Perut tidak bertambah besar
2. Inspeksi
- Tidak tampak gerakan janin
3. Palpasi
- TFU lebih rendah dari tuanya kehamilan
- Tidak teraba gerakan janin
- Krepitasi pada tulang kepala janin
4. Auskultasi
- DJJ (-)
5. Reaksi Kehamilan
- Test kehamilan (-)
6. Rontgen foto abdomen
- Adanya akumulasi gas dalam jantung dan pembuluh darah janin
- Tanda nojosk: angulasi yang tajam pada tulang belakang janin
- Tanda gernard: hiperekstensi kepala janin
- Tanda spalding: overlapping sutura
7. USG
Riwayat dan pemeriksaan fisik sangat terbatas nilainya dalam membuat diagnosis kematian janin. Umunnya penderita hanya mengeluh gerakan janin berkurang. Pada pemeriksaan fisik tidak terdengar denyut jantung janin. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasound, dimana tidak tampak adanya gerakan jantung janin (Sarwono, 2008).
Pada anamnesis gerakan menghilang. Pada pemeriksaan pertumbuhan janin tidak ada, yang terlihat pada tinggi fundus uteri menurun, berat badan ibu menurun, dan lingkaran perut ibu mengecil (Sarwono, 2008).
Dengan fetoskopi dan Doppler tidak dapat didengar adanya bunyi jantung janin. Dengan sarana penunjang diagnostik lain yaitu USG, tampak gambaran janin tanpa tanda kehidupan. Dengan foto radiologik setelah 5 hari tampak tulang kepala kolaps, tulang kepala saling tumpang tindih (gejala “spalding”) tulang belakang hiperrefleksi, edema sekitar tulang kepala; tampak gambaran gas pada jantung dan pembuluh darah. Pemeriksaan hCG urin menjadi negatif setelah beberapa hari kematian janin (Sarwono, 2008).
Komplikasi yang dapat terjadi ialah trauma psikis ibu ataupun keluarga, apalagi bila waktu antara kematian janin dan persalinan berlangsung lama. Bila terjadi ketuban pecah dapat terjadi infeksi. Terjadi koagulopati bila kematian janin lebih dari 2 minggu (Sarwono, 2008).
D. Etiologi
Pada 25-60% kasus penyebab kematian janin tidak jelas. Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik plasenta (Sarwono, 2008).
1. Faktor maternal antara lain adalah
Post term (> 42 minggu), diabetes mellitus tidak terkontrol, sistemik lupus eritema tonus, infeksi, hipertensi, preeklampsia, eklampsia, hemoglobinopati, umur ibu tua, penyakit rhesus, rupture uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kematian ibu (Sarwono, 2008).
2. Faktor fetal antara lain adalah
Hamil kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan kongenital, kelainan genetik, infeksi (Sarwono, 2008).
3. Faktor plasental antara lain adalah
Kelainan tali pusat, lepasnya plasenta, ketuban pecah dini, vasa previa (Sarwono, 2008).
Faktor resiko terjadinya kematian janin intrauterine meningkat pada usia ibu > 40 tahun, pada ibu infertil, kemokonsentrasi pada ibu, riwayat bayi dengan berat badan lahir rendah, infeksi ibu (ureplasma urealitikum), kegemukan, ayah berusia lanjut (Sarwono, 2008).
Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin dan pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif untuk mencari penyebab kematian janin, termasuk analisis kromosom, kemungkinan terpapar infeksi untuk mengantisipasi kehamilan selanjutnya (Sarwono, 2008).
Pengelolaan kehamilan selanjutnya bergantung pada penyebab kematian janin. Meskipun kematian janin berulang jarang terjadi, demi kesejahteraan keluarga, pada kehamilan berikut diperlukan pengelolaan yang lebih ketat tentang kesejahteraan janin (Sarwono, 2008).
Pemantauan kesejahteraan janin dapat dilakukan dengan anamnesis, ditanyakan aktivitas gerakan janin pada ibu hamil, bila mencurigakan dapat dilakukan pemeriksaan kardiotokografi (Sarwono, 2008).
E. Faktor Predisposisi
1. Faktor Ibu (High Risk Mothers)
a. Status sosial ekonomi yang rendah
b. Tingkat pendidikan ibu yang rendah
c. Umur ibu yang melebihi 30 tahun atau kurang dari 20 tahun
d. Paritas pertama atau paritas kelima atau lebih
e. Tinggi dan BB ibu tidak proporsional
f. Kehamilan diluar perkawinan
g. Kehamilan tanpa pengawasan antenatal
h. Gangguan gizi dan anemia dalam kehamilan
i. Ibu dengan riwayat kehamilan/ persalinan sebelumnya tidak baik seperti bayi lahir mati.
j. Riwayat inkompatibilitas darah janin dan ibu (Antonius Widoyoko, 2011).
2. Faktor bayi (High Risk Infants)
a. Bayi dengan infeksi antepartum dan kelainan kongenital.
b. Bayi dengan diagnose IUGR (Intra Uterine Growth Retardation)
c. Bayi dalam keluarga yang mempunyai problema sosial (Antonius Widoyoko, 2011).
3. Faktor yang berhubungan dengan kehamilan
a. Abrupsio plasenta
b. Plasenta previa
c. Preeklampsi/ Eklampsi
d. Polihidramnion
e. Inkompatibilitas golongan darah
f. Kehamilan lama
g. Kehamilan ganda
h. Infeksi
i. Diabetes
j. Genitourinaria (Antonius Widoyoko, 2011).
Faktor-faktor Predisposisi meliputi hipertensi, diabetes mellitus, eritroblastosis fetalis, penyakit tali pusat, anomali-anomali janin dan infeksi. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak dapat diidentifikasi bahkan dengan autopsi dan pemeriksaan plasenta yang teliti (Ben-zion Taber, 1994).
F. Penatalaksanaan IUFD
1. Observasi dalam 2-3 minggu untuk mencari kepastian diagnosa.
2. Biasanya selama menunggu, 70-90% akan terjadi persalinan spontan.
3. Bila belum partus, indikasi untuk induksi persalinan.
4. Induksi dan pemberian esterogen untuk mengurangi efek progesterone atau dengan oksitosin drip atau dengan amniotomi.
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, penderita segera diberi informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penatalaksanaannya. Rekomendasikan untuk segera diintervensi (Sarwono, 2008).
Bila kematian janin lebih dari 3-4 minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecenderungan terjadinya koagulopati. Masalah menjadi rumit bila kematian janin terjadi pada salah satu bayi kembar (Sarwono, 2008).
Bila diagnosis kematian janin telah ditegakkan, dilakukan pemeriksaan tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan dan gula darah. Diberikan KIE pada pasien dan keluarga tentang kemungkinan penyebab kematian janin; rencana tindakan; dukungan mental emosional pada penderita dan keluarga, yakinkan bahwa kemungkinan lahir pervaginam (Sarwono, 2008).
Persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2 minggu, umunya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol. Tindakan perabdominal bila janin letak lintang. Induksi persalinan dapat dikominasi oksitosin + misoprostol. Hati-hati pada induksi dengan uterus pascasecsio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya ruptura uteri (Sarwono, 2008).
Pada kematian janin 24-28 minggu dapat digunakan, misoprostol secara vaginal (50-100µg tiap 4-6 jam) dan induksi oksitosin. Pada kehamilan diatas 28 minggu dosis misoprostol 25µg pervaginam/ 6 jam (Sarwono, 2008).
Setelah bayi lahir dilakukan ritual keagamaan merawat mayat bayi bersama keluarga. Idealnya pemerisaan otopsi atau patologi plasenta akan membantu mengungkapkan penyebab kematian janin (Sarwono, 2008).
G. Pencegahan
Sebenarnya faktor resiko dan komplikasi IUFD dapat dicegah apabila ibu hamil secara rutin memeriksakan kehamilannya pada dokter ataupun ketempat pelayanan kesehatan lain, sehingga apabila ditemukan komplikasi kehamilan dapat ditangani sejak dini dan diharapkan dapat mencegah terjadinya IUFD.
Upaya mencegah kematian janin, khususnya yang sudah atau mendekati aterm adalah bila ibu merasa gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan janin terlalu keras, perlu dilakukan pemeriksaan ultrasonografi. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada gamelli dengan T+T (twin to twin transfusion) pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis (Sarwono, 2008).

H.      Asuhan Kebidanan Pada Kasus IUFD
1. Selama menunggu diagnose pasti, ibu akan mengalami syok dan ketakutan memikirkan bahwa bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan sebagai motivator untuk meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang ada.
2.  Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan melalui hasil USG dan rongent foto abdomen, begitu pula dengan hasil labor dan plano test
3. Menunggu persalinan spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996) memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan dengan gejala kecemasan
4.  Induksi persalinan setelah kematian intrauteri berbeda dengan induksi lainnya dalam dua hal. Pertama, tidak perlu memperhitungkan kesehatan bayi, jadi efek samping dan komplikasi hanya perlu dipertimbangkan dari sudut pandang ibu saja. Kedua, kebanyakan induksi terencana pada bayi hidup dilakukan mendekati aterm, sementara induksi untuk bayi meninggal biasa pada kisaran usia gestasi yang lebih luas
5.    Sebelum induksi, TD harus diukur, uji proteinuria untuk menyingkirkan adanya eklampsia, suhu harus dicatat terutama pada kasus pecah ketuban. Bila ada kecurigaan bayi telah meninggal beberapa minggu sebelumnya, periksa darah ibu untuk menghitung trombosit dan pemeriksaan pembekuan darah karena biasa muncul masalah koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
6.   Pemberian peredaan nyeri dapat dipertimbangkan karena ibu harus menjalani pengalaman melahirkan yang keduanya secara psikologis dan fisik menyakitkan (Smith, 1999).
7.    Bila kematian intrauterine lebih dari 4 minggu, maka dicurigai ibu mengalami abrupsio plasenta yang beresiko perdarahan post partum. Untuk itu pada kasus ini diindikasikan pelaksanaan aktif kala III
8. Setelah kelahiran, bantu proses bersedih pada orang tua dengan memberikan dukungan dan menciptakan kenangan-kenangan